Selasa, 26 November 2013

TEORI KONSTRUKSI SOSIAL DALAM PEKERJAAN SOSIAL


A. Pendahuluan
Diskursus mengenai konstruksi sosial, dewasa ini, tampaknya ditanggapi secara lebih serius oleh kalangan akademisi di berbagai perguruan tinggi di seluruh dunia. Di Indonesia, wacana ini muncul ke permukaan secara massif semenjak runtuhnya rezim orde baru –perkembangan selanjutnya di era reformasi memiliki ciri yang berbeda.
Konstruksi sosial, sederhananya, berupaya memahami askpek-aspek yang selama ini dianggap kaku dan rigit oleh para akademisi di bidang ilmu sosial. Bagi para akademisi tua tersebut, aturan dan norma dalam sebuah pranata sosial di tengah masyarakat terlahir sui generis (begitu adanya). Sebaliknya, para teoritisi konstruksi sosial memandang aspek-aspek pemaknaan tersebut sebagai sesuatu yang fluid, dinamis dan berkembang dari waktu ke waktu. Artinya, pemaknaan, termasuk memaknai pengetahuan, bergantung erat –jika tidak sepenuhnya- pada selera masyarakat dalam kurun waktu tertentu. 
Gagasan mengenai konstruksi sosial berasal dari pandangan yang di kemukakan oleh Berger dan Luckmann (1971). Mereka mengatakan bahwa dalam kehidupan sosial, sebagai kebalikan dari alami, realitas dipandang sebagai suatu pemahaman yang yang memandu prilaku kita akan tetapi kita sendiri memiliki pandangan yang berbeda-beda atas pemahaman tersebut. 
Konstruksi sosial pada masa dulu memberikan sumbangsih yang cukup mengagetkan, dengan hadirnya istilah konstruksi dalam ilmu sosial memberikan dampak yang signifikan, Nampak terlihat dari para filosofi perancang lahirnya teori konstruksi sosial memberikan sumbangsih yang sangat membantu penelitian selanjutnya.
Sebagai pengantar awal, penulis dalam hal ini akan membahas terkait mengenai konstruksi sosial, dimana dalam pengantar ini penulis menggunakan tiga kata kunci utama untuk memahami teori dari konstruksi sosial akan dimulai dari proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Sementara itu, akan di jelaskan lagi bagaimana realitas-realitas sosial yang ada pada masyarakat mencakup realitas subjek dan realitas objek yang tentunya akan didekatkan dengan kajian pekerjaan sosial yang dihadapi masyarakat sekarang.
B. Konstruksi Sosial
1. Teori Konstruksi Sosial
Teori konstruksi sosial (social construction) berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu yang merupakan manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya. Dalam proses sosial, manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, mereka menggambarkan bahwa, konstruksi sosial merupakan proses sosial melalui tindakan dan interaksi, dimana individu-individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas atau keyataan yang dimiliki dan dialaminya.
Meskipun istilah konstruksi sosial berkaitan dengan sosiologi pengetahuan, ada beragam pendapat yang seharusnya dimaksud dengan “pengetahuan” dalam konteks ini, Peter Berger dan Thomas Luckmann secara jelas menunjukkan teks klasik mereka the construction of reality 1967 sebagai suatu sumbangan terhadap sosiologi pengetahuan, tetapi pengetahuan yang akan mereka analisis, mengikuti Alfred Schutz, adalah pengetahuan umum (commonsense knowledge) yang dimiliki oleh anggota masyarakat bukan pengetahaun yang valid secara filosofis atau ilmiah. 
2. Sejarah lahirnya teori konstruksi sosial
Asal usul konstruksi sosial lahir dari filsafat Kontruktivisme, ini  dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagsan pokok Konstruktivisme telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari Italia. Pemikirannyalah yang kelak menjadi cikal bakal Konstruktivisme.  
Dalam “sociologi kontemporer” Poloma menyebut Istilah konstruksi sosial atas realitas (sosial construction of reality) sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. 
Konstruksi sosial, dalam hal ini, mesti dipahami sebagai sebuah proses alih-alih sebagai produk jadi. Masyarakat, bagaimanapun juga, membentuk aturan-aturan yang nantinya akan mereka pauhi melalui proses yang disebut dengan konstruksi realitas.
Oleh karena itu, tidak heran jika kenyataan hidup sehari-hari juga memiliki dimensi-dimensi obyektif dan subjektif.  Konstruksi sosial yang dikemukan Berger dan Luckmann memandang manusia sebagai pencipta kenyataan sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana kenyataan obyektif mempengaruhi kembali manusia melalui proses internalisasi (yang mencerminkan kenyataan subjektif). Dalam konsep berpikir dialektis (tesis-antitesis-sintesis), Berger memandang masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat. Yang jelas, karya Berger ini menjelajahi berbagai implikasi dimensi kenyataan obyektif dan subjektif dan proses dialektis obyektivasi, internalisasi dan eksternalisasi.
Adapun arah pemikiran teori konsruksi sosial, Berger & Luckmann berpandangan bahwa kenyataan itu dibangun  secara sosial, dalam pengertian individu-individu dalam masyarakat itulah yang membangun masyarakat. Maka pengalaman individu tidak terpisahkan dengan masyarakatnya. 
Berger memandang manusia sebagai pencipta kenyataan sosial yang objketif melalui tiga momen dialektis yang simultan yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi.
1. Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia kedalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Proses ini merupakan bentuk ekspresi diri untuk menguatkan eksistensi individu dalam masyarakat. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai produk manusia (Society is a human product).
2. Objektifikasi, adalah hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu berupa realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya (hadir dalam wujud yang nyata). Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjketif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai realitas yang objektif (Society is an objective reality), atau proses interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. 
3. Internalisasi, masyarakat sebagai kenyataan subyektif menyiratkan bahwa realitas obyektif ditafsiri secara subyektif oleh individu. Dalam proses menafsiri itulah berlangsung internalisasi. Internalisasi adalah proses yang dialami manusia untuk ’mengambil alih’ dunia yang sedang dihuni sesamanya.  Internalisasi berlangsung seumur hidup melibatkan sosialisasi, baik primer maupun sekunder. Internalisasi adalah proses penerimaan definisi situasi yang disampaikan orang lain tentang dunia institusional. Dengan diterimanya definisi-definisi tersebut, individu pun bahkan hanya mampu mamahami definisi orang lain, tetapi lebih dari itu, turut mengkonstruksi definisi bersama. Dalam proses mengkonstruksi inilah, individu berperan aktif sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah masyarakat.

C. Penerapan Teori Konstruksi Sosial dalam Pekerjaan Sosial
Pekerja sosial sadar bahwa keinginan untuk membangun masyarakat yang masih rentan dari kesejahteraan membuthkan alternative-alternatif yang kiranya bisa di terapakan kepada penyandang masalah keterbelakangan “kemiskinan”. Dalam contoh kasus yang terjadi di Indonesia saat ini, pekerja sosial mengalami distorsi terhadap permasalah-permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan. Keikutsertaan pekerja sosial dalam melihat problem masyarakat tentunya berpengaruh bagi laju berkembangan harapan hidup kearah yang lebih baik. 
Seperti yang ditegaskan Clifford untuk mencari sumber masalah orang banyak, memerlukan keterampilan yang lebih. Menurutnya, seorang pekerja sosial yang terampil menggunakan assessment dengan tujuan untuk mengeluarkan pertentangan emosi dan sikap dan untuk menyiasati dengan teliti masalah individu mendasar yang mungkin tidak disentuh.  
Proses pertolongan oleh pekerjaan social, dalam melihat masalah yang dihadapi, pekerja sesosial memiliki Tahapan Dalam Proses Pertolongan Pekerjaan Sosial. Adapun proses pertolongan yang paling sering dilakukan oleh pekerja social adalah assessment.
Assessment merupakan penaksiran atau penilaian terhadap situasi, data, fakta dasar, perasaan orang dan keadaan yang terlibat didalamnya. Pekerja sosial dalam pelaksanaan kerjanya menerapkan dasar pengetahuan umum (the basic of general knowledge) hingga dasar pengetahuan khusus (the basic of specific knowledge).
Assessment merupakan suatu kegiatan pemahaman dan perumusan masalah yang terus-menerus dilakukan (an ongoing affair) dan sekaligus bersamaan waktunya (conterminous) dengan proses pertolongan itu sendiri.
Proses assessment pekerja sosial berorientasi kepada kegiatan ilmiah dan seni (scientific and artistic orientations).Pekerja sosial dituntut untuk memiliki dan menguasai ketrampilan interaksional dan analisa (analytic and interactional skills).
Tujuan assessment yaitu :
a. Membantu mendefinisikan masalah;
b. Menunjukkan sumber-sumber yang berhubungan dengan kesemuanya.
Adapun Kegiatan yang dilakukan pekerja sosial dalam tahap assessment ialah :
a. Pengumpulan data
Hal yang penting dalam pengumpulan data adalah menerapkan “principle of parsimony“ yaitu prinsip dimana, pekerja sosial hanya mengumpulkan informasi yang relevan dengan situasi yang ditanganinya dan kemudian memformulasikan/merumuskan cara-cara melalui judgment yang valid. Sumber data terutama diperoleh dari klien sendiri, namun orang-orang yang berhubungan atau terlibat dalam pengalaman kehidupan klien seperti keluarga, teman serta orang-orang yang berada didalam sistem yang lebih luas, dimana mereka merupakan bagian darinya dapat dijadikan sumber sekunder untuk memperoleh informasi. 
Sumber data juga dapat diperoleh dari catatan, laporan, test, studi dan evaluasi terhadap berbagai hal yang berhubungan.Hal itu dilakukan secara bertahap, terpisah dan simultan, maka pekerja sosial secara konstan melakukan assessment mengenai apa yang dapat diobservasi dan dipelajari. 
b. Pengecekan data
Hal yang perlu diperhatikan oleh pekerja sosial di dalam melakukan pengumpulan data adalah pengecekan data.Pengecekan data bukan berarti ketidakpercayaan terhadap sumber data, tetapi lebih ditekankan karena klien pekerja sosial (khususnya klien patologi) biasanya cenderung tidak memberikan data yang obyektif.
c. Analisa data 
Analisa data dapat dilakukan jika data sudah terkumpul secara validitas, realibilitasnya sudah teruji sehingga benar-benar obyektif.Analisa data mengacu kepada pendekatan sistem (system approach).
d. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan dapat diperoleh jika analisa data (sebagai input/masukan) sudah dilakukan, kesimpulan tersebut ialah : Masalah yang dialami klien, Sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah tersebut.
Untuk dapat melaksanakan fungsi dan tugas assessment dengan baik, pekerja sosial perlu mengacu prinsip assessment yaitu :
1. Assessment pekerja sosial akan menghasilkan keunikan dan keindividualisasian tentang masalah, orang, situasi sosial dan interaksi diantara ketiganya.
2. Dalam melakukan social study perlu diketahui dan dipahami masa lalu klien, karena hal itu berkaitan dengan kondisinya saat ini.
3. Social study akan dapat membantu memperlancar pekerja sosial dalam penyusunan rencana intervensi, ketidaktepatan dalam assessment akan dapat mengakibatkan ketidakberhasilan penyusunan rencana intervensi.
4. Social study pada prinsipnya lebih besar dan lebih luas dari social history, karena social study mencakup penilaian kondisi saat ini secara profesional dan memberikan rekomendasi bagi kegiatan pertolongan (the present professional judgment and recomendation for helping action).
Jadi proses assessment harus mencakup penganalisaan terhadap pribadi klien dan terhadap konteks situasi sosialnya.
Adapun penerapan dari teori konstruksi sosial dalam hal ini, alangkah baiknya kita memulai dengan:
1. Mempertanyakan asumsi-asumsi sehari-hari terhadap realitas
Dalam mendefinisikan masalah, seorang pekerja sosial harus menempatkan relitas subjektif klien pada posisi yang utama. Ini karena klien secara aktif dan berkelanjutan senantiasa memaknai pengalaman-pengalaman mereka sehari-hari.
Interpretasi yang salah atas pengalaman, dapat menghalangi seseorang untuk mencapai potensinya secara utuh. Maka pekerja sosial dituntut untuk mampu memahami makna-makna yang diberikan klien terhadap kehidupan mereka. Sampai di sini, peran pekerja sosial adalah memaknai ulang pengalaman-pengalaman hidupnya untuk tujuan mencapai harapan-harapan yang diinginkan klien. 
Dalam memenuhi kebutuhan manusia dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, pemenuhan kebutuhan manusia yang dimaksud dalam hal ini adalah sebagai berikut:
a) Pemenuhan kebutuhan berdasarkan pada karakteristik umum (general).
b) Penentuan kebutuhan pada perkembangan manusia (spesifik). 
Berrbagai pengalaman menunjukkan bahwa sumber keberhasilan suatu proses pertolongan/pemecahan masalah terletak pada kepercayaan klien kepada kemampuan sendiri.cara untuk meningkatkan kepercayaan klien terhadap kemampuannya sendiri adalah dengan:
a) Membantu klien untuk menampilkan perilaku tertentu secara actual guna mencapai tujuan.
b) Menumbuhkan kesadaran klien akan kekuatan-kekuatan yang dimiliki.
c) Menunjukkan kemajuan-kemajuan yang telah ia capai.
d) Memanfaatkan significant others (orang-orang yang terkait, khususnya keluarga dan teman dekatnya) untuk menumbuhkan kepercayaan diri klien. 
2. Penanganan masalah untuk individu, masyarakat, dan kelompok kecil.
Dalam konteks assessment dan intervensi di lingkup mikro, pekerja sosial dapat memanfaatkan gagasan-gagasan konstruksi sosial dengna cara membantu klien untuk memaknai kembali pengalaman-pengalaman masa lalu yang menjadi faktor penyebab maslaah mereka sekarang.
Tekhnik pertolongan dalam bimbingan sosial perorangan ini dilaksanakan setelah pekerja sosial memahami situasi si klien dan mempunyai pengertian yang mendalam mengenai masalahnya melalui prosedur yang tertentu. 
Penanganan masalah dalam bimbingan sosial perorangan dapat dilakukan dengan beberapa cara, adapun tekhnik yang digunakan di sini adalah sebagai berikut:
a) Perubahan keadaan sekeliling (manipulation of the environment)
Mengenai keadaan sekeliling klien ini tidak saja bersifat alamiah (physical envairement), akan tetapi juga yang bersifat psikhologis (kejiwaan), untuk mengadakan penyesuaian antara si klien dengan keadaan sekelilingnya yang menyebabkan ia mederita.
b) Memberikan dorongan (supportive relationship)
Tekhnik pertolongan dengan cara memberikan dorongan kepada klien itu dimaksudkan agar suapaya si klien dapat mengatasi kesulitan dan masalahnya sendiri. Dengan memberikan perhatian lebih banyak, pengertian yang cukup mendalam, memberikan dorongan, semangat, memberikan penjelasan cara-cara mencapai tujuan dan segalanya.
c) Menjelaskan persoalan (clarification of the problem)
Yang dimaksud dengan menjelaskan kepada klien mengenai kesukaran-kesukaran atau masalah-masalahnya dan kenyataan yang sebenarnya, berdasarkan keterangan-keterangan ilmiah atau yang logis yang bersifat obyektif dan dapat diterima oleh klien serta mudah difahami.
d) Interpretasi
Tekhnik pertolongan interpretasi hampir sama dengan tekhnik pertolongan penjelasan personal (clarification of the problem), perbedaanya bahwa interpretasi diberikan lebih mendalam dan pada umumnya berhubungan dengan kesukaran atau penderitaan emosional. Sebaliknya interpretasi itu datang dari klien sendiri, bukan dari caseworker sendiri. 


PENUTUP
Dalam memahami teori konstruksi sosial Bergerian, ada tiga momen penting yang harus dipahami secara simultan. Ketiga momen itu adalah eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi, yang bagi Berger, memiliki hubungan dasar dan dipahami sebagai satu proses yang berdialektika ( interplay) satu sama lain.
Masing-masing dari ketiga momen itu berkesesuaian dengan suatu karakterisasi yang esensial dari dunia sosial. Melalui eksternalisasi, masyarakat merupakan produk manusia; melalui objektivasi, masyarakat menjadi realitas yang istimewa, unik; dan melalui internalisasi, manusia merupakan produk masyarakat.  Ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan hal itu berada di luar (objektivasi), dan lebih lanjut ada proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sehingga yang berada di luar seakan-akan berada di dalam diri.
Semoga makalah ini memberikan inspirasi untuk kita bersama bagai mana kita memaknai sebuah interaksi kepada sesama baik pada diri kemudian terkronstruksi oleh realitas yang ada sekarang.
Sebagai catatan akhir, pekerja sosial mendapat tempat yang luar biasa dalam memberikan sumbangsih dalam memberikan pengetahuan, bimbingan, kemudian memberikan solusi-solusi yang positif kepada permasalahan yang dihadapi klien sekarang ini.

DAFTAR PUSTAKA

Dwi Heru Sukoco, Profesi Pekerjaan Sosial Dan Proses Pertolongannya, Bandung: Koperasi Mahasiswa (STKS), 1991.
Edi Suharto, Pekerjaan Sosial Di Indonesia Sejarah Dan Dinamika Perkembangan, Yogyakarta: Samudra Biru, 2011.
E. Setiyawati A. dan Roh Shufiyati, Teori Sosial Dari Klasik Sampai Postmodern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012. 
Hanneman Samuel, Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia, 1993.
James Midgley, Imperialisme Professional: Pekerjaan Sosial Di Dunia Ketiga, (judul asli: Professional Imperialism: Social Work In The Third Word, alih bahasa oleh: Moch Zaenal Hakim), London: Heineman Education Books, 2003.
Peter L Berger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan, (Jakarta :  LP3S, 1990).
Poloma, Margareth. Sosiologi Kontemporer. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) , 2004. 
S. Kasni Hariwoerjanto, Metodologi Dan Praktek Pekerjaan Sosial Pengantar Dan Metoda Bimbingan Sosial Perorangan (Social case Work), Bandung: Departemen Sosial R.I.,1986.
Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Susan P. Robbins, Pranab Chaterjee, Edward R. Canda, Contemporary Human Behaviour Theory: A Critical Perspective For Social Work, USA: Allyn & Bacon, 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar