A.
Biografi
Jurgen Habermas
Jurgen Habermas adalah seorang sosiolog
dari Jerman. Ia mungkin paling dikenal karena filsuf dalam tradisi teori kritis
dan pragmatisme, ia mungkin paling dikenal karena teori-teorinya tentang
rasionalitas komunikatif dan ruang publik. Jajak pendapat global yang konsisten
mengidentifikasi Habermas sebagai salah satu intelektual terkemuka di dunia.
Jurgen Habermas lahir pada 18 juni 1929
di Dusseldorf Provinsi Rheinland-Westfalen Jerman Barat, kemudian ia dibesarkan
di keluarga yang kelas ekonomi menengah dan keluarga agak tradisional dan
bapaknya pernah menjabat sebagai direktur kamar dagang.[1]
Dia terlahir lahir dengan bibir sumbing yang membuatnya sulit untuk berbicara
dengan jelas, dan ia memiliki kesulitan dalam membentuk hubungan sosial karena
ia sering bertemu dengan penolakan akhirnya ia menerima operasi korektif dua
kali selama masa kecilnya.
Ketika berusia 15 atau 16 tahun,
Habermas mengalami guncangan batin yang mendalam dan membuatnya defresi di mana
waktu itu, terjadinya perang dunia II yang disaksikannya langsung, dengan melihat
kejadian waktu itu, Habermas menjadikan titik pangkal dalam tulisannya.
Pada usia 15 atau 16 tahun saya duduk di
depan radio dan merasakan apa yang sedang diperdebatkan di pengadilan
Nuremberg. Ketika yang lain, bukannya diam karena dihantui perasaan ngeri,
mulai mempersoalkan keadilan, pemeriksaan keadilan,masalah-masalah procedural
dan yuridiksi, disitulah muncul jurang pemisah yang masih menganga. Tentu saja
ini karena saya masih sensitive dan mudah tersinggung hingga saya tidak bisa
menutup diri saya sendiri pada fakta ketidakmanusiawian yang disadari secara
kolektif dalam kadar yang sama dengan mayoritas para pendahulu saya.[2]
Berakhirnya perang menimbulkan harapan
dan peluang baru pemuda Jerman, termasuk Habermas, Dengan berakhirnya kekuasaan
Nazi, semua jenis peluang intelektual muncul, dan buku-buku yang semula
dilarang dibaca kini boleh dibaca dan tersedia buat Habermas.
Pada awal pendidikannya, Habermas
dimulai dengan mempelajari filsafat di Universitas Gottingen dan Bonn dan mulai
bergabung ke dalam Institute Fur Sozialforschung pada tahun 1956, yaitu lima
tahun setelah Institut itu didirikan kembali di bawah kepemimpinan Adorno.
Waktu itu ia berusia 27 tahun dan mengawali karier akademisnya sebagai asisten
Theodor Adorno (seorang filsuf Jerman terkemuka di Institute for Social
Research) antara tahun 1958-1959. Gelar Ph.D, didapatkannya setelah berhasil
menyelesaikan dan mempertahankan disertasinya yang berjudul Das Absolut und die
Geschichte (Yang Absolut dan Sejarah) yang kemudian diterbitkan menjadi buku
pada tahun 1954 dan berisi tentang pertentangan antara yang Mutlak dan Sejarah
dalam pemikiran Schelling.[3]
B.
Karya
Jurgen Habermas
Sebagai
seorang tokoh dan pemikir dunia yang terkenal, tentunya memiliki karya yang
diakui oleh banyak orang sebagai bukti ketokohannya. Adapun karya yang pernah
dipublikasikan oleh Jurgen Habermas antara lain seperti :
1. The
Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of
Bourgeois Society (1962) diterjemahkan oleh Thomas Burger bersama dengan
Frederick Lawrence, Cambridge, Polity Press, 1989.
2. Theorie
und Praxis / Theory and Practice (1963), diterjemahkan oleh John Viertel,
Boston, Beacon Press, 1973
3. Erkenntnis
und Interesse / Knowledge and Human Interest, (1968), diterjemahkan oleh Jeremy
J. Shapiro, Boston, Beacon Press, 1971
4. Toward
a Rational Society : Student Protest, Science and Politics (1968-9),
diterjemahkan oleh Jeremy J. Shapiro, Boston, Beacon Press, 1970
5. On
the Logic of the Social Sciences (1970), diterjemahkan oleh Shierry W.
Nicholsen dan Jerry Stark, Cambridge,Mass, MIT Press, 1988
6. Legitimation
Crisis (1973), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, Boston, Beacon Press, 1975
7. Communication
and thr Evolution of Society (1976), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy,
London, Heinemann, 1979
8. Theorie
des Kommunikativen Handelns /The Theory of Communication Action. Volume 1
Reason and Rationalization on Society (1981), diterjemahkan oleh Thomas
McCarthy, Boston, Beacon Press, 1984
9. Theorie
des Kommunikativen Handelns / The Theory of Communication Action. Volume 2
Lifeworld and System : a Ctitique of Functionalist Reason (1981), diterjemahkan
oleh Thomas McCarthy, B: aoston, Beacon Press, 1987
10. Der
Philosophische Diskurs der Moderne / The Philosophical Discourse of Modernity
(1985), diterjemahkan oleh Frederick Lawrence, Cambridge, Polite
Ini
adalah sebagian dari karya-karya Jurgen Habermas yang pernah dipublikasikan.
Selebihnya masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu karya yang
dimilikinya, baik dia menjadi editor maupun penulisnya langsung.
C.
Struktur-Struktur
Sosial Ruang Publik
1.
Blue
Print
Pendefinisan awal yang digambarkan Habermas
mengenai ruang publik borjuis dapat kita mulai dengan melihat opini-opini yang
banyak dibicarakan oleh orang banyak. Dalam hal ini saya bisa mengartikan ruang
publik secara abstrak namun tidak merubah kaidah-kaidah dari apa yang dimaksud
ruang publik itu sendiri.
Sebagai pemahaman awal, alangkah baiknya
melihat apa yang dimaksud dengan ruang publik itu sendiri, seperti yang
digambarkan oleh penulis, saya akan memulai dari apa yang dimaksud ruang
privat, dan ruang otoritas publik.
Pada mulanya ruang privat hanya berkutik
pada wilayah yang tertutup saja dan tidak merepresentasikan dirinya untuk diketahui
orang banyak. Akan tetapi, manusia tidak bisa hidup sendiri dan perlu
berinteraksi dengan orang banyak. Maka dari sini orang-orang tidak bisa hidup
sendirian tanpa membangun hubungan dengan orang banyak, maka terbentuklah
sebuah interaksi yang kemudian menjadi perkumpulan masyarakat untuk membentuk
wilayah privat, baik dalam wilayah privat keluarga dan masyarakat sipil.
Ruang publik borjuis kemudian dapat
dimengerti sebagai ruang masyarakat privat sphere
of privat people yang berkumpul bersama menjadi sebuah publik.[4]
Dari perkumpulan ini yang kemudian membentuk ruang untuk melawan otoritas publik
guna mengemukakan opni mereka untuk melawan kebijakan-kebijakan yang ada di
institusi yang khusus menangani wilayah publik.
Pada masa itu, orang-orang berinteraksi membangun
hubungan melalui perkumpulan-perkumpulan yang tidak terkendali, dalam artian
pembicaraan mereka masih terfokus pada pembicaraan sebatas di warung-warung
kopi, rumah-rumah, salon dan tidak memiliki wadah yang special untuk menampung
pembicaraan masyarakat yang masih belum bisa terkontrol, ini diakibatkan oleh
belum terbentuknya wadah untuk menampung inspirasi mereka untuk di sampaikan
kepada otoritas publik.
Perdebatan seputar kaidah umum yang
mengatur hubungan-hubungan di dalam ruang pertukaran barang dagangan dan ruang
kerja sosial yang secara mendasar telah terprivatisasi, meski pertikain politis
ini agak istimewa namun ini relevan dengan penggunaan rasio secara publik oleh
rakyat (Offentliches Rasonnement).[5]
Penggunaan kata (Rasonnement) memunculkan polemic dua sisi: memujanya, namun
sekaligus menghinanya sekedar sebagai keluhan atas ketidakpuasan. Dimana pada
waktu itu para ningrat tanah telah banyak merundingkan kesepakatan dengan raja,
sehingga dari kasus ke kasus konflik kekuasaan yang melibatkan demarkasi
(pemberangkatan) pembebasan kaum ningrat-tanah dari ketuanan atau kedaulatan
tertinggi sang raja semakin dibuat berimbang.[6]
Kebebasan ningrat-tanah dari kedaulat
tertinggi inilah yang kemudian melahirkan keningratan ketiga yang tidak mampu
lagi mengukuhkan diri mereka sebagai ningrat-tanah yang berkuasa.[7]
Untuk lebih mudah dalam memahami ilustrasi
cetak biru ruang publik borjuis abad ke 18 dapat ditampilkan dengan jelas
melalui sekema wilayah-wilayah sosial pada diagram berikut:
Habermas, dengan mengusung tema ruang
public yang dibawanya dari ranah sastera menyebut bahwa ruang public dalam
artian politik datang dari kebutuhan riil masyarakat mengenai apa yang baik
atau dianggap layak sebagai karya sastera yang bermutu. Hal ini sesuai dengan
pernyataan habermas berikut ini: “… ruang public di wilayah politis berkembang
dari ruang public di wilayah sastra…dengan mengendarai opini public tersebut,
ia mempersentuhkan kebutuhan Negara dengan kebutuhan riil masyarakat sispil”[8]
Wilayah Privat
|
|
Ruang Otoritas Publik
|
Masyarakat sipil
(wilayah pertukaran komoditas dan wilayah kerja sosial
ruang dalam keluarga
conjugal (para intelektual borjuis)
|
Ruang publik di wilayah
politis
Ruang publik di dunia
sastra (klub baca pers)
(pasar bagi
produk-produk budaya) ‘kota’
|
Negara wilayah politis
Istana (masyarakat santun-terhormat
|
Untuk mengartikan ruang publik yang
secara sederhana, bisa dikatakan Ruang publik merupakan ruang demokratis atau
wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat menyatakan opini-opini,
kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif.
2.
Institusi-Institusi
Ruang Publik
Pada abad ke-17, kata le public dalam bahasa prancis diartikan
sebagai lectures, spectaterurs dan auditaurs sebagai penerima dan pengonsumsi,
di samping sebagai kritikus seni dan sastra. Acuan pada saat itu jelas masih
pada istana demikian sesudahnya barulah mengacu pada bangsawan kota, dimaa
istana bekerja sama dengan bangsawan borjuis dan anggota-anggotanya untuk menempati
kursi-kursi paling terhormat di teater paris. Publik awal ini, terdiri atas
istana dan kota, Namun kehidupan-santun aristokratis yang mendalam dari
lingkaran-lingkaran elit ini telah mengusung karakteristik modern.[9]
Sebagai tanda paling awal mengenai
perpaduan antara aristokrasi kota yang secara ekonomis tidak produktif dan
secara politis tidak berfungsi di satu sisi, dengan para penulis, seniman dan
ilmuan terkemuka di sisi lain (yang sering kali memiliki asal ususl borjuis)
sebagai cirri pembeda salon abad abad ke-18.[10]
Pada zaman pemerintahan Philip dari
Orlean, istana kehilangan posisi sentralnya di ruang public, karena waktu itu
Philip memindahkan istana dari Versailles ke paris. Dimana kota mengambil alih
fungsi-fungsi cultural, maka ruang public pun turut berubah secara bersamaan.
Pada saat inilah terjadinya para kerabat dan dua penggantinya lebih menyukai
kelompok-kelompok social kecil, jika malah lingkaran keluarganya sendiri yang
pada tingkatan tertentu menghindari etiket.[11]
Sebelum revolusi, sastra dan seni
digunakan untuk melukiskan pewakilan/perepresentasian dari raja itu sendiri,
kehadiran seni dan sastra sebelum revolusi hanya digunakan sebatas privat dari
raja itu saja. Setelah terjadinya revolusi, kemuliaan raja sedikit demi sedikit
berangsur padam. Posisi politis mahkota, maupun temperamen pribadi yang
mengenakannya tidak lagi seperti yang terjadi sebelumya. George si petani,
Victoria si ibu rumah tangga, karena tak satu pun dari mereka yang berhasrat
mempertahankan istana seperti Ratu Elizabeth I.[12]
Di mana kedai kopi dan salon menjadi
pusat kritik-awalnya hanya bersifat kesustastraan, namun kemudian menjadi
politis juga-yang di dalamnya kemudian kahir kelompok-kelompok baru di
antara masyarkat skoratis dan para intelektual borjuis, sebuah kelompok
terdidik yang memiliki kesamaan-kesaan tertentu.
Kelompok-kelompok terdidik ini membentuk
ruang politisnya melalui warung-warung kopi dan salon, tetapi yang membangun
kelompok-kelompok terdidik ini hanya diikuti oleh kaum peria saja. Dari sini
kemudian, generasi penulis mulai pertempuran mereka dari penulis modern dan
penulis kuno. Sebagaimana di ungkapkan habermas: “…seperti Driyden, yang
dikelilingi oleh para penulis terlibat langsung dalam pertempuran ‘kuno lawan
modern’ di kedai kopi…”.[13]
Berkumpulnya masyarakat privat menjadi
sebuah public sebagian besar memang masih berada di balik pintu-pintu yang
tidak terbuka untuk menuangkan aspirasi rill, dalam menghimpun aspirasa rakyat
membutuhkan dealektik yang panjang dalam menyusun sebuah komunikasi untuk
menciptakan pemahaman yang rasional.
“…Selama publisitas disembunyikan di
dalam berkas-berkas rahasia raja, rasio tidak dapat mewahyukan dirinya secara
langsung, cahaya rasio yang diselubungi demi keselamatannya sendiri, menampakkan
diri setahap demi setahap. Habermas kemudian mempertegas pernyataan Lessing
mengenai gerakan premason, yang pada waktu itu menjadi sebuah phenomena yang
luas di eropa: gerakan ini sama tuanya dengan masyarakat borjuis-“atau mungkin
sebaliknya, masyarakat borjuis malah keturunan dari gerakan premason itu
sendiri…”[14]
Dalam praktik-praktik rahasia yang
dilakukan masyarkat borjuis mengkelaim dirinya sebagai pendamai antara negara
dan masyarakat. Sebagaimana di katakana oleh jurgen habermmas dalam hal ini
adalah: “…ruang public borjuis tampil seolah-olah sebagai pendamai, memenangkan
sekali lagi pertempuran publisitas yang diatur negara…”[15]
Pada dasarnya politis ruang public
borjuis mengalami masalah yang serius di dalam internalnya sendiri, di mana perkumpulan
rahasia mereka menjadi mangsa ideologinya sendiri dan pada akhirnya isu ini
kemudian dibawa kepada negara, dengan desain kelompok borjuis sebagai pendamai
untuk rakyat dan negara. Dari sinilah munculnya pewarta masyarakat untuk
disampaikan kepada negara.
Di mana pewarta dalam hal ini adalah
borjuis mulai memisahkan diri dari ruang public di waktu itu yang telah muncul.
Ini mengindikasikan kerjasama intern borjuis intelek untuk menyerang otoritas
negara dengan mengendarai opini public sebagai senjata untuk menyerang istana.
Karena itulah bentuk hubungan social, keintiman borjuis dengan istana yang
kemudian diterima secara luas tanpa perlu penegasan melalui unjuk gigi di dalam
perayaan yang di tampilkan di wilayah persaudaraan dalam ruang istana.
Perdebatan di warung-warung kopi dan
salon-salon memiliki perbedaan gaya yang berkembang sehingga orientasi
pertamanya mencakup ukuran dan komposisi public dalam mengorganisaikan diskusi
di antara masyarkat privat yang cenderung berlangsung tanpa henti. Karena itu
mereka memilik criteria institusional, di mana institusional ini kemudian
terpecah menjadi beberapa pemahaman antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama,
Mereka mempertahankan bentuk hubungan social yang jauh mengangankan kesetaraan
status, malah mengesampingkan status tersebut. Mereka cenderung mengganti
perayaan kedudukan dengan kesetaraan yang layak secara bijak. Persamaan yang
dianggap sebagai satu-satunya landasan bagi pengukuhan argument lebih baik
dalam memenangkan perlawanan terhadap hirarki social. Kedua, Diskusi di dalam public semacam itu mengandaikan adanya
problematisasi wilayah-wilayah yang sampai saat itu masih belum dipersoalkan. Ketiga, Proses yang sama yang mengubah
kebudayaan menjadi komoditas (sehingga menjadi objek diskusi) menciptakan
sebuah public yang pada prinsifnya inklusif.[16]
Munculnya public tersebar sampai keranah
social masyarakat privat melalui proses asimilasi yang kemudian memperkenalkan
kebudayaan melalui public yang terbentuk menurut arah komersial produksi
budaya, dari sinilah kemudian sebuah kategori social muncul.[17]
Perkenalan produksi budaya melalui teater, seni dan music menyebar karena
komersil budaya waktu itu lagi berkembang dan siapapun boleh menikmatinya.
Akan tetapi para aristokrasi istana tidak
menaruh minat mereka dalam hobi membaca dan lebih kepada koleksi pujangga saja,
dan bukan bukan merupakan public pembaca yang sesungguhnya. Sebagaimana yang di
ungkapkan oleh Habermas mengenai ini adalah sebagai berikut: “…aristokrasi
istana pada abad ke-17 bukan merupakan public pembaca yang sesungguhnya. Namun
yang jelas, dia tetap memelihara para pujangga seperti dia memelihara
pelayannya, meski produksi sastra didasarkan pada keinginan para patron yang
sebenarnya lebih mendukung konsumsi besar-besaran ketimbang mendukung budaya
membaca yang serius…”[18]
Begitu juga dengan kesusastraan, dalam
pentas teater yang ada di jerman waktu itu baru menghasilkan sebuah public
dalam makna yang ketat ketika teater melekat pada singgasana, ililah yang
terjadi pada jerman waktu itu, teater menjadi sebuah khas bangsa.
Akan tetapi pergelaran teater mulai
berkurang karena banyaknya kejahatan di wilayah pementasan yang mengakibatkan
pekelahian dan pembunuhan, karena jauh sebelumnya, bukan hanya masyarkat saja
yang duduk di kursi-kursi utama namun kursi itu diduduki oleh kelompok borjuis
yang berbusana mewah. Akan tetapi di inggris teater khalayak rame ini tidak
bertahan lama pada masa Charles II, hanya satu saja yang dipertahankan di bawah
perlindungan istana.[19]
Teater ini kemudian mendapat pengawalan yang ketat dari dari kerajaan waktu
itu. Hanya pada pase pasca revolusi inilah kemudian ditandai oleh tradisi
komedi-komedi ala Dryden menuju drama-drama ala Congreve, muncul tetater-teater
yang dibuka untuk umum bagi penonton.
Habermas menyebutkan bahwa: “…pada tahun
1766, sebagai konsekuensi dari upaya-upaya kritis Gottsched dan Lessing, Jerman
memiliki sebuah teater yang permanen, ‘Teater Nasional Jerman’ (Dutsches
Nationaltheater)[20]…”
Sejak kemunculan teater nasional inilah
menghasilkan banyak pergeseran yang menghasilkan sebuah perubahan di komposisi
publik yang mengalami pergeseran dalam ranah publik yang waktu itu sangat ketat
karena antara penonton-teater lebih ketat ketimbang publik pembaca.
Habermas menyatakan bahwa: “…apabila
dinilai menurut fungsi sosialnya, music ini memang dapat berfungsi meningkatkan
kesakralan dan martabat penyembahan, glamour perayaan-perayaan di istana-para
composer ditunjuk sebagai musisi istana, gereja/majelis keningratan dan mereka
bekerja menurut yang diperintahkan, sama seperti penulis yang melayani patron
dan actor-aktor istana yang melayani para raja… ”[21]
Karena masyarakat jarang sekali
mendengarkan music kecuali di istana/di gereja, maka pertama kalinya muncullah
sekelompok music privat Collegia Misica muncul di ataas panggung, di mana pada
waktu itu kelompok privat inilah yang menobatkan dirinya sebagai kelompok
konser publik, dari sinilah muncul music yang tidak terikat pada satu tujuan
tertentu.
Konflik berkenaan dengan penilaian-awam,
publik sebagai otoritas kritis, berlangsung sangat keras di wilayah tersebut.
Habermas menyontohkan: “dalam melukis, pada esensinya mereka hanya melukis bagi
para kolektor ahli di antara para bangsawan, namun di titik ini para seniman
tersebut melihat diri mereka dipaksa oleh kondisi untuk mulai bekerja melayani
keinginan pasar”. Karena dengan adanya wadah atau jalur distribusi ini para
pelukis sudah mulai membebaskan dirinya dari aturan-aturan gereja dan istana.
Begitu juga dengan para pembuat patung akhirnya ikut-ikutan membebaskan dirinya
-seperti yang dilakukan leh para pelukis, pematungpun mengambil bagian
masing-masing untuk bebas memasarkan hasil-hasil dari karya yang di buatnya,
kemudian dipasarkan tanpa di tahan oleh gereja/istana.
Mulai dari sini kemudian, hasil-hasil
diskusi di warung-warung kopi dan salon-salon melahirkan insturumen-instrumen
yang melembagakan kritik terhadap sastra maka jurnal-jurnal khusus kritik seni
dan budaya adalah ciptaan istimewa pada abad ke-18. Hadirnya kritik seni
tampaknya membakar semua pandangan kita dalam memahami seni itu sendiri, Nampak
jelas bahwa, hadirnya kritik seni ini memberikan dampak yang sangat signifakan
dalam kemunculannya hingga ke ranah filsafat. “filsafat tidak lagi dimungkinkan
kecuali sebagai filsafat kritis, begitu pula sastra dan seni tidak lagi
dimungkinkan kecuali berkaitan dengan kritik sastra dan seni”.[22]
Dalam Tattler, Spectator dan guardian, publik
seperti membentangkan cermin bagi diri mereka sendiri, kendati demikian mereka
masih belum sampai kepada pemahamani-diri dengna membalikkan refleksi terhadap
karya-karya filsafat sastra, seni dan ilmu pengetahuan tersebut kepada diri
mereka sendiri.
Addison sendiri menganggap dirinya
sebagai penyensor tingkah laku dan moral-esai-esainya berisi tentang kepedulian
sosial, sekolah bagi orang-orang miskin, perbaikan pendidikan, pembelaan
bentuk-bentuk hubungan yang beradab, polemic melawan kejahatan dari
perjudianpanatisme dan keangkuhan ilmu dan perlawanan terhadap kehambaran para
estetis dan eksentrisitas kaum terpelajar.[23]
D.
Kesimpulan
Dari pemaparan
yang disampaikan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa: Ruang publik adalah
ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat
menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka
secara diskursif. Terdapatnya sebuah wilayah sosial yang terbuka, bebas dari
sensor dan dominasi. Di mana semua wilayah yang memungkinkan kehidupan sosial
manusia membentuk opini publik yang relatif bebas. Orang-orang yang terlibat di
dalam percakapan public sphere adalah orang-orang privat, bukan orang dengan
kepentingan bisnis atau profesional, bukan pejabat atau politikus, yang memiliki
kebebasan dalam menyatakan pendapatnya.
[1] Peter
Beilharz, Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof
Terkemuka, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal. 211.
[4] Jurgen
Habermas, Ruang Publik: Sebuah Kajian
Tentang Masyarakat Borjuis, Bantul: Kreasi Wacana, 2004, Cetakan ke-IV, hal. 41.
[22]
Ibid, hal. 64.
[23]
Ibid, hal. 66.